BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Isu tentang gender telah menjadi
bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai
perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai
pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai
tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya
banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan
dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu
terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional, negara,
keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara
sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta
ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan
akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan
perempuan.
Dari penyiapan pakaian pun kita
sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki
misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan,
bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi mainan boneka, alat
memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif
lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan
warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga
misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak
menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah
raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun
tampak hal-hal yang mengalami diskriminasi tersendiri.
1.2. Tujuan
1.
Untuk memahami apa itu gander, isu gender, kesetaraan
dan keadilan gender (KKG) dan pengarusutamaan gender (PUG)
2. Untuk Memahami
kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dan pengarusutamaan gender (PUG) dalam
pendidikan
3. Untuk
mengaplikasikan KKG dan PUG dalam pendidikan
BAB II
pembahasan
2.1
Pengertian Gender
Dari Wikipedia bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan
diferensiasi seksual pada manusia.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000)
menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian
berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender
sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial,
Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep
untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender
secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua
teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme
struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas
berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur
mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi
secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August
Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan
yang lain.
Dalam buku Sex and Gender yang
ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang
dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan
yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih
1999: 8-9).
Secara umum, pengertian Gender
adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat
dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Gender adalah
perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai
dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender
adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki
dan perempuan.
Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan
atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena
keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut
kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan
pembangunan.
Dengan
demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau
rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat
berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa,
masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena
perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena
kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
2.2
Konsep Dan Isu Gender
Berbagai literatur yang
membahas mengenai gender antara lain dikemukakan oleh megawangi (1999), Darahim
(2000), dan literatur lainnya, pusat penelitian gender dan peningkatan kualitas
perempuan (2001), bunga rampai panduan dan bahan pembelajaran pengarusutamaan
gender dalam pembangunan nasional (2004) dan lain-lain, menyimpulkan bahwa seks
dan gender merupakan konsep yang berbeda. Seks mengacu pada perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat pada
masin-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin
merupakan kodrat atau ketentuan tuhan, sehingga sifat permanen dan universal.
Berebeda halnya dengan gender, gender adalahperbedaan peran, sifat, tugas, dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang di bentuk, dibuat dan di
konstruksioleh masyarakatdan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Isu gender diartikan
sebagai masalah yang menyangkut ketidak adilan yang berdampak negatif bagi
perempuan dan laki-laki, terutama terhadap perempuan. Contohnya saja
subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu
memimpin, cengeng. Mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki.
Salah satu
sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena menjamin bebasnya
untuk berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen masyarakat. Gagalnya dalam
mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif yang
dilakukan oleh merekayang dominan baik secara structural maupun cultural.
Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan
kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi.
Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di
seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai.
Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan
yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat
mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang
paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender
di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak
negatifnya.
Berbagai
cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang
menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara
individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan
internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, Menjamin Kesetaraan
Hak-Hak Azasi, Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender, dan
Peningkatan Partisipasi Politik.
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat
Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang
beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari
kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati
oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat terdiri dari berbagai
lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan,
perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat dalam kaitan dengan isu gender
adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum
perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena
ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya
dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling
menentukan.
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah
dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan
perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan
itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum
sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari
produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di
dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan.
Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang
tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi
akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas
jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap
perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U
No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang
sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita,
terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita.
Mencermati ketentuan Pasal 1
tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah
setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka
terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang
Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.
2.3 KKG
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ).
Kurangnya pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam
pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan
social.
Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis
kelamin ) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya…..”.
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis
kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya
yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain
disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh
sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,
bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan
gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan
gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin
merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang
diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan
secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah
selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”.
Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender
merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan.
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini
setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai
peluang / kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti
mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional.
Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.
2.3.1 Kesetaraan Gender
di Indonesia dalam Bermasyarakat
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap
kaum laki – laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat
termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :
a. Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu marginalisasi
perempuan. Marginalisasi perempuan ( penyingkiran / pemiskinan ) kerap terjadi
di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu banyak pekerja perempuan yang
tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti
internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan
dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih
memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki, dan
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara
manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh
tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa
perempuan hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.
b. Subordinasi
Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk
keadilan yang berupa subordinasi. Subordinasi memiliki pengertian yaitu
keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih
utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat
pandanganyang menempatkan kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari
laki – laki. Salah satu contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk
yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam bersikap seolah – olah berkuasa
(wanita tidak mampu mengalahkan kehebatan laki – laki). Kadang kala kaum pria beranggapan
bahwa ruang lingkup pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah. Dengan
pandangan seperti itu, maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum perempuan
untuk mengapresiasikan pikirannya di luar rumah.
c. Pandangan stereotype
Stereotype dimaksud
adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan
kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Salah satu
stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi
terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan
terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum
perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau
kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi
juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan
negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan
marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar
nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai
tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan
sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan
laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki
sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.
d. Beban Ganda
Bentuk lain dari
diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan
oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa
dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan
hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang
bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber
daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam
bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang
dialami kaum laki-laki di satu sisi.
Kesetaraan gender di Indonesia masih dalam konteks perlindungan hak
ketenagakerjaan serta upah yang sepadan, tampaknya kita perlu menilik kembali
peran pemerintah terhadap para pahlawan devisa, khususnya para kaum perempuan.
Mereka adalah pihak yang memliki suara paling kecil untuk didengar oleh
pemerintah maupun penegak hukum, sebab posisinya yang seolah tak memiliki hak
yang sama untuk dilindungi secara penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya terlindungi
oleh negara. Masih marak pula terjadi kasus yang tak terselesaikan sebab
insignifikansi pemerintah (pemerintah
mengganggap masalah ini tidak penting) tentang hal ini. Lucunya, kasus TKW
seringkali hanya disambut dengan komentar ringan berupa ‘pemerintah belum dapat
melindungi hak-hak umum para TKW, serta belum dapat mengawasi seluruhnya kasus
tentang pemerkosaan yang marak terjadi’.
Ini menyangkut soal hak; yang berarti pula akan menjadi masalah yang
memberatkan atau bahkan menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika tak segera
diselesaikan dengan aksi nyata. Apalagi TKW merupakan major labour yang
bertugas menopang satu dari beberapa pilar utama negara, lewat peran pentingnya
terhadap pasokan devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka menyumbang
peran yang kecil pula untuk negara.
Bisa jadi, dengan adanya aksi peningkatan perlindungan kepada TKW secara
nyata dan signifikan dari pemerintah akan memunculkan stabilitas ekonomi lebih
mumpuni, sehingga perannya untuk kesejahteraan negeri secara langsung juga akan
terasa besar. Pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia? Sebuah renungan untuk
bangsa ini tentunya.
2.3.2 Kesetaraan Gender dalam
Dunia Pendidikan di Indonesia
Perempuan sesungguhnya
membutuhkan pendidikan seperti halnya dengan laki – laki. Akan terlihat jelas
apabila dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia masih di jajah, Para
penjajah kurang menghargai kaum perempuan. Mereka berlaku sewenang – wenang
sesuka hati terhadap kaum perempuan di Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan
bahwa kesetaraan gender sama sekali belum ditegakkan. Dampak dari peristiwa
tersebut, pandangan – pandangan masyarakat sepeninggalnya yaitu terdapat
masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan untuk
berperan sentral diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua yang
memiliki pandangan seperti itu, akan menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi
– tingginya sedangkan anak perempuan tidak harus bersekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Salah satu factor peristiwa tersebut yaitu orang tua hanya beranggaoan
bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu rumah
tangga yang tak perlu sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini pemerintahan
telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan
adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, dengan hal ini
banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon pembangunan Negara ini
mendapatkan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui bahwa
pandangan orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak perempuannya
kini telah berubah. Terlihat bahwa pada saat sekarang kaum perempuan pun banyak
yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi. Selain hak untuk mendapatkan
pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender
dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil hingga pemerintahan.
Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki
jabatan tertentu dalam suatu institusi. Presiden Negara Indonesia yang pernah
diduduki oleh seorang perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri merupakan bukti
real-nya.
2.4 PUG
Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming)
adalah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakandan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan
permasalahan perempuan, dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi,dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan.
Pengarustamaan gender penting
dikarenakan agar dapat membuat dan mengambil kebijakan seperti: memiliki
kepekaan gender, yaitu kepekaan terhadap perbedaan masalah uang dihadapi maupun
perbedaan kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki khususnya yang
berkaitan dengan penghormatan atas hak-hak azasi perempuan, misalnya: hak
reproduksi, dan hak politik perempuan. Semua ini dapat dilihat dalam UU NO.
7/1984. Selain itu ke pemerintah dan pengaturan masyarakat oleh negara maupun
institusi sosial lainnya yang lebih baik.
2.5 Gender
Dalam Kurikulum Dan proses Pendidikan
Rendahnya
kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya
diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek
permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
1. Akses
Yang dimaksud dengan aspek
akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak
sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya
seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat
SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh
untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya
orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang
‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak
dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah.
Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
2. Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan.
Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya
tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali
anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk
menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber
pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah
anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah
dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan
pencari nafkah.
3.
Manfaat dan
penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum
perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan
dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161
orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan.
Pendidikan tidak hanya sekedar
proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala
pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang
berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian
pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal
termasuk di sekolah.
Perilaku yang
tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid,
dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran
berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang
terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan,
pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu
ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi
siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan
bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender
muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris,
semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar
kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan
perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender
dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 %
untuk perempuan.
2.5.1
Pendidikan memandang Gender
Dalam deklarasai Hak-hak asasi
manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap orang berhak mendapatkan
pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima
serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta
harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas,
sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah
unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau
konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi
terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu
kualitas yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal
baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan bisa
meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar
mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui
perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal
bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada
kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat
pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala
bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Dengan
demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat
minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama
dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan ketrampilan
lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut
akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk
memperjuangkan persamaan sesungguhnya.
2.5.2
Membangun Pendidikan
Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk
tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru
pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman,
maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran
palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan
mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk
mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus
mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak
kepadakeadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.
1. Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam
suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi
belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat
dari pengamatan, penelitian dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah.
Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan
mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan
yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang
biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga seperti misalnya:
ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya,
struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan,
pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan,
lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana
lembaga sekolah tergenderkan.
2. Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan
akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu,
untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Jika
guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender,
maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan
gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru
memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat untuk menciptakan
keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya, melalui proses pembelajaran
di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam perlakuan di kelas.
3. Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode
pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode
pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan
adanya penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang tak
terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan
diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan problematik-problematik
kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog dan diskusi-diskusi.
Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas tidak akan
membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan kesempatan untuk
terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep penting pendidikan
gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.
4. Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang
sangat penting dalam pendidikan peka gender, karena di dalam bahasa, lewat
pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan
dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak
terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh
seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling
menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa
dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam
pendidikan.
Usaha untuk menghentikan bias
gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan
kebutuhan praktis gender (pratical genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka
pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran
bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing
hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan
epistimologi ilmu pengetahuan.
2.5.3
Strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan
Adapun strategi utama menuju
kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
- Penyediaan
akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi
anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun
pendidikan luar sekolah;
- Penyediaan
akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat
mengikuti pendidikan persekolahan;
- Peningkatan
penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama
perempuan
- Peningkatan koordinasi,
informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan
gender; dan
- Pengembangan
kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah
mengenai pendidikan berwawasan gender.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaplikasian
gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam menyongsong era globalisasi dewasa ini. Direalisasikan atau tidaknya
pengintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak di tentukan oleh guru dan
bagaimana cara guru mengintegrasikannya. Oleh sebab itu apa yang diharapkan
terjadi pada siswa harus di sadari sepenuhnya, perlu di rencanakan,
diprogramkan dengan baik serta dilaksanakan dengan konsekuen dan konsisten
sebab proses pembelajaran serta segala aktivitas yang terjadi dan dialami oleh
tiap anak akan turut juga membentuk jiwa, sikap dan kepribadiannya kelak.
Memang pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orangtua,
masyarakat dan pemerintah. Namun demikian, pembentukan wawasan (kognitif),
sikap(afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang berlangsung di kelas
menjadi tanggung jawab guru. Karena itu para guru diharapkan membantu membangun
jiwa dan keperibadian anak untuk menghadapi era globalisasi mengingat perempuan
juga punya potensi dan dapat diandalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muthali’in, Achmad.2001. Bias gender dalam
pendidikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sembiring, Dermawan. 2014. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Medan:
Universitas Negeri Medan
Anonim.2011.http://kantongajaibputri.blogspot.com/2011/11/tugas-isbdmanusia- sebagai-makhluk.html (Di Akses Tanggal 30
agustus 2014)
Contoh Makalah Politik Gender dan Demokrasi
BalasHapusNi mata kuliah apa ya di Biologi?
BalasHapus