Selasa, 03 Maret 2015

Makalah Kesetaraan Gender


BAB I
Pendahuluan

 1.1 Latar Belakang
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dari penyiapan pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang mengalami diskriminasi tersendiri.


1.2. Tujuan
1.      Untuk memahami apa itu gander, isu gender, kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dan pengarusutamaan gender (PUG)
2.      Untuk Memahami kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pendidikan
3.      Untuk mengaplikasikan KKG dan PUG dalam pendidikan


























BAB II
pembahasan

2.1 Pengertian Gender
Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat1). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
 Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan  (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan.
 Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.



2.2 Konsep Dan Isu Gender
Berbagai literatur yang membahas mengenai gender antara lain dikemukakan oleh megawangi (1999), Darahim (2000), dan literatur lainnya, pusat penelitian gender dan peningkatan kualitas perempuan (2001), bunga rampai panduan dan bahan pembelajaran pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional (2004) dan lain-lain, menyimpulkan bahwa seks dan gender merupakan konsep yang berbeda. Seks mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat pada masin-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan tuhan, sehingga sifat permanen dan universal. Berebeda halnya dengan gender, gender adalahperbedaan peran, sifat, tugas, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang di bentuk, dibuat dan di konstruksioleh masyarakatdan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Isu gender diartikan sebagai masalah yang menyangkut ketidak adilan yang berdampak negatif bagi perempuan dan laki-laki, terutama terhadap perempuan. Contohnya saja subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng. Mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki-laki.
Salah satu sendi utama dalam demokrasi yaitu Kesetaraan Gender karena menjamin bebasnya untuk berpeluang dan mengakses bagi seluruh elemen masyarakat. Gagalnya dalam mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif yang dilakukan oleh merekayang dominan baik secara structural maupun cultural. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya.
Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi, Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif Mengatasi Kesenjangan Gender, dan Peningkatan Partisipasi Politik.
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat  dalam kaitan dengan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.

2.3 KKG       
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ). Kurangnya pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan social.
Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis kelamin ) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya…..”.
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”. Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai peluang / kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional. Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
2.3.1 Kesetaraan Gender di Indonesia dalam Bermasyarakat
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap kaum laki – laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :
a.    Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu marginalisasi perempuan. Marginalisasi perempuan ( penyingkiran / pemiskinan ) kerap terjadi di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu banyak pekerja perempuan yang tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki, dan perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa perempuan hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.
b.    Subordinasi
Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk keadilan yang berupa subordinasi. Subordinasi memiliki pengertian yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat pandanganyang menempatkan kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari laki – laki. Salah satu contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam bersikap seolah – olah berkuasa (wanita tidak mampu mengalahkan kehebatan laki – laki). Kadang kala kaum pria beranggapan bahwa ruang lingkup pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah. Dengan pandangan seperti itu, maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum perempuan untuk mengapresiasikan pikirannya di luar rumah.


c.    Pandangan stereotype
Stereotype dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan. 
d.   Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.
Kesetaraan gender di Indonesia masih dalam konteks perlindungan hak ketenagakerjaan serta upah yang sepadan, tampaknya kita perlu menilik kembali peran pemerintah terhadap para pahlawan devisa, khususnya para kaum perempuan. Mereka adalah pihak yang memliki suara paling kecil untuk didengar oleh pemerintah maupun penegak hukum, sebab posisinya yang seolah tak memiliki hak yang sama untuk dilindungi secara penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya terlindungi oleh negara. Masih marak pula terjadi kasus yang tak terselesaikan sebab insignifikansi  pemerintah (pemerintah mengganggap masalah ini tidak penting) tentang hal ini. Lucunya, kasus TKW seringkali hanya disambut dengan komentar ringan berupa ‘pemerintah belum dapat melindungi hak-hak umum para TKW, serta belum dapat mengawasi seluruhnya kasus tentang pemerkosaan yang marak terjadi’.
Ini menyangkut soal hak; yang berarti pula akan menjadi masalah yang memberatkan atau bahkan menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika tak segera diselesaikan dengan aksi nyata. Apalagi TKW merupakan major labour yang bertugas menopang satu dari beberapa pilar utama negara, lewat peran pentingnya terhadap pasokan devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka menyumbang peran yang kecil pula untuk negara.
Bisa jadi, dengan adanya aksi peningkatan perlindungan kepada TKW secara nyata dan signifikan dari pemerintah akan memunculkan stabilitas ekonomi lebih mumpuni, sehingga perannya untuk kesejahteraan negeri secara langsung juga akan terasa besar. Pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia? Sebuah renungan untuk bangsa ini tentunya.

2.3.2  Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di Indonesia
Perempuan sesungguhnya membutuhkan pendidikan seperti halnya dengan laki – laki. Akan terlihat jelas apabila dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia masih di jajah, Para penjajah kurang menghargai kaum perempuan. Mereka berlaku sewenang – wenang sesuka hati terhadap kaum perempuan di Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender sama sekali belum ditegakkan. Dampak dari peristiwa tersebut, pandangan – pandangan masyarakat sepeninggalnya yaitu terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan untuk berperan sentral diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua yang memiliki pandangan seperti itu, akan menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi – tingginya sedangkan anak perempuan tidak harus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu factor peristiwa tersebut yaitu orang tua hanya beranggaoan bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu rumah tangga yang tak perlu sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini pemerintahan telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal ini terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon pembangunan Negara ini mendapatkan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui bahwa pandangan orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak perempuannya kini telah berubah. Terlihat bahwa pada saat sekarang kaum perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi. Selain hak untuk mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Presiden Negara Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri merupakan bukti real-nya.

2.4 PUG
            Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakandan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan, dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi,dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
            Pengarustamaan gender penting dikarenakan agar dapat membuat dan mengambil kebijakan seperti: memiliki kepekaan gender, yaitu kepekaan terhadap perbedaan masalah uang dihadapi maupun perbedaan kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki khususnya yang berkaitan dengan penghormatan atas hak-hak azasi perempuan, misalnya: hak reproduksi, dan hak politik perempuan. Semua ini dapat dilihat dalam UU NO. 7/1984. Selain itu ke pemerintah dan pengaturan masyarakat oleh negara maupun institusi sosial lainnya yang lebih baik.


2.5 Gender Dalam Kurikulum Dan proses Pendidikan
Rendahnya  kualitas  pendidikan  diakibatkan  oleh  adanya  diskriminasi  gender dalam  dunia  pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
1.         Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.

2.         Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.

3.         Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris, semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.

         2.5.1 Pendidikan memandang Gender
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.
 Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu kualitas yang memiliki kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
 Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa memandang jenis kelamin.
 Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan sesungguhnya.



         2.5.2 Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus  mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak kepadakeadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.

1.      Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat dari pengamatan, penelitian dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah. Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga seperti misalnya: ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya, struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan, lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana lembaga sekolah tergenderkan.

2.      Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Jika guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki itikat untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dengan sendirinya, melalui proses pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal dan dalam perlakuan di kelas.

3.      Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan adanya penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang tak terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan problematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.


4.      Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka gender, karena di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam pendidikan.

Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan.

         2.5.3 Strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan
Adapun strategi utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
  1. Penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
  2. Penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
  3. Peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan
  4.  Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
  5. Pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.














BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pengaplikasian gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam menyongsong era globalisasi dewasa  ini. Direalisasikan atau tidaknya pengintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak di tentukan oleh guru dan bagaimana cara guru mengintegrasikannya. Oleh sebab itu apa yang diharapkan terjadi pada siswa harus di sadari sepenuhnya, perlu di rencanakan, diprogramkan dengan baik serta dilaksanakan dengan konsekuen dan konsisten sebab proses pembelajaran serta segala aktivitas yang terjadi dan dialami oleh tiap anak akan turut juga membentuk jiwa, sikap dan kepribadiannya kelak. Memang pada dasarnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah. Namun demikian, pembentukan wawasan (kognitif), sikap(afektif), dan keterampilan (psikomotorik) yang berlangsung di kelas menjadi tanggung jawab guru. Karena itu para guru diharapkan membantu membangun jiwa dan keperibadian anak untuk menghadapi era globalisasi mengingat perempuan juga punya potensi dan dapat diandalkan.













DAFTAR PUSTAKA
Muthali’in, Achmad.2001. Bias gender dalam pendidikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sembiring, Dermawan. 2014. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Medan: Universitas             Negeri Medan


2 komentar: