Kamis, 13 November 2014

filsafat pendidikan

Makalah Filsafat Pendidikan

Aliran-Aliran Filsafat:
“Idealisme, Materialisme dan Realisme”
DISUSUN

Oleh :

        Tirma Putri Simanungkalit

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJD3xyOOrkDHGv62yeEmFXqUVzr7PSLMuVy2ju63qjrmKKbDqJGtUIXYK5Jq7UB0t5S5qzKsiQPbBH8RiQM3ACZgGUagqpvAhaIiER-1vJ7gEAx-B7yp_JX6RbcMYmJN9f0SC6xd7jlLiE/s1600/Logo+Unimed-FMIPA.gif

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan


                                              2014      

                                                       KATA  PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan RahmatNYA kepada Penulis. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu aspek pemenuhan tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Dalam kesempatan ini Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada ibu Rosdiana selaku dosen pengampu mata kuliah FILSAFAT PENDIDIKAN yang telah membina dan membantu Penulis dalam penulisan Makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. 
Adapun materi yang dibahas dalam makalah ini mengenai Aliran – aliran filsafat Idealisme, Materialisme, dan Realisme. Serta bagaimana peran sekolah dan guru dalam setiap alirannya.  
Dengan harapan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis dan juga bagi pembaca. Saran dan kritik yang membangun dengan terbuka Penulis terima untuk meningkatkan kualitas isi dari makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah filsafat pendidikan ini  dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.





Penyusun

   Kelompok V (
Lima)







DAFTAR ISI
Halaman

Kata Pengantar ........................................................................................................................i
Daftar Isi ..................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan ................................................................................................................1
Bab II Isi
2.1. Aliran Filsafat Pendidikan ....................................................................................2
2.2. Aliran Filsafat Idealisme .......................................................................................2
2.3. Aliran Filsafat Materialisme .................................................................................8
2.4. Aliran Filsafat Realisme .......................................................................................11
Bab III Penutup
3.1. Simpulan ...............................................................................................................16
Daftar Pustaka.......................................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN

            Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana seharusnya kita menjalaninya merupakan masalah yang klasik, yang hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat mana yang paling benar yang seharusnya kita anut. Para filsuf  menggunakan sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Dari beberapa banyak aliran filsafat, kami hanya membahas aliran filsafat idealisme, materialisme, dan realisme. Antara aliran atau paham yang satu dan yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pa­s dengan persoalan yang sedang kita hadapi.
Memahami sistem filsafat sesungguhnya menelusuri  dan mengkaji suatu pemikiran mendasar dan tertua yang  mengawali kebudayaan manusia. Sebagai suatu sistim, filsafat berkembang berdasarkan ajaran seorang atau beberapa orang tokoh pemikir filsafat. Sistem filsafat sangat ditentukan oleh potensi dan kondisi masyarakat atau bangsa itu, tegasnya oleh kerjasama faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini diantaranya yang utama ialah sikap dan pandangan hidup, citakarsa dan kondisi alam lingkungan.  Apabila cita karsanya tinggi dan kuat tetapi kondisi alamnya tidak menunjang, maka bangsa itu tumbuhnya tidak subur (tidak jaya).
Tujuan dari penulisan makalah ini sendiri, selain memenuhi kewajiban membuat tugas, adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu dan keterkaitan penulis terhadap aliran filsafat idealisme, materialisme, dan realisme.










BAB II
ISI

2.1. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Salah satu terapan dari filsafat yaitu filsafat pendidikan yang berarti bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil kajian dari filsafat. Hasil dari filsafat itu sendiri adalah berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Khususnya yang berkaitan dengan praktek pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat terdapat berbagai aliran . Sehubungan dengan itu maka dalam filsafat pendidikan pun terdapat berbagai aliran sesuai dengan aliran yang ada dalam filsafat. Berikut ini akan dijelaskan tiga dari sembilan aliran filsafat yang ada dalam filsafat pendidikan yaitu filsafat pendidikan idealisme, filsafat pendidikan materialisme, dan filsafat pendidikan realisme.

2.2. Filsafat Pendidikan Idealisme
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”,  yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Kata idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain: Seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya; Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
Alam, bagi orang idealis, mempunyai arti dan maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia. Oleh karena itulah seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada rumahnya dengan alam; ia bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini suatu sistem yang logis dan spiritual; dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivis, akal, jiwa, atau perorangan. Manusia sebagai satuan bagian dari alam menunjukkan struktur alam dalam kehidupan sendiri.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.
            Seorang pengikut idealisme menurut Kattsoff pada tahun 1996 akan menjawab seperti berikut:
1.      Hakekat terdalam pengalaman seseorang.
2.      Ketertiban dan susunan alam semesta.
3.      Adanya nilai dialam semesta, maka kita akan sampai pada pendirian penganut idealisme berdasarkan atas tuntutan akan keruntutan dan akal kita.

          Pengalaman dan pengetahuan tergantung pada akal yang mengetahuinya. Apapun yang diketahui pada akhirnya berupa ide, artinya sesuatu yang berhakekat akal. Karena itu, maka sama sekali tidak mungkin ada pengetahuan, kecuali jika dunia yang nyata atau objek pengetahuan berhakekat akal juga. Kedua, dimana-mana dialam semesta ini kita menjumpai watak yang logis, hubungan sebab dan akibat, ketertiban, watak sistematik, ketaatan pada hukum, dan sebagainya. Idealisme tidak menolak keberadaan dunia nyata yang ada ada di sekitar kita seperti benda-benda yang ada di alam ini, hanya mereka memandang kenyataan seperti ini adalah merupakan manifestasi dari realitas yang hanya memenuhi kebutuhan fisik.
          Aliran idealisme kenyataannya tidak terpisahkan dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita, yaitu:
1.    Realita yang nampak yaitu yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang hidup dan ada yang mati.
2.    Realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan fikiran yang utuh didalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang nampak karena ide merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya aliran idealisme mendasari semua yang ada dan yang nyata di alam ini hanya ide, dunia ide merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang nampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari ide adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dengan dunia ide dengan Tuhan, arche sifatnya kekal dan sedikitpun tidak mengalami.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi kehidupan manusia,  roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut dengan penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami fikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia, demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya, oleh karena itu adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa berbagai macam pendapat tentang aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam fikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita dimana manusia berfikir kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam yang disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berfikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam fikiran, sehingga rohani dan sukma merupakan tumpuan dari pelaksanaan  dari paham ini.  Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah ide, yang digali dari bentuk-bentuk pemikiran murni yang keadaannya sangat sederhana, yaitu pengamatan diluar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa dibalik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal ikhwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi. Sebagai Phidom mengetengahkan dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan disini adalah jiwa atau sukma, dengan demikian duniapun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan dan dunia tidak kelihatan, dan bagian ini menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme.
Plato dalam mencari jalan pada alam nyata seperti yang ada dihadapan manusia, sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui ada apa dibalik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato ini, disebabkan aliran platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat itu sendiri. oleh karena itu dapat kita katakan bahwa Plato bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Plato memandang bahwa jiwa manusia adalah roh yang berasal dari ide eksternal dan sempurna. Immanuel Kant memandang bahwa manusia adalah bebas dan ditentukan, bebas sepanjang jiwa atau roh terikat berarti manusia juga merupakan makhluk fisik yang tunduk pada hukum alam. Kaum idealis memandang bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual yang mewarisi pembawaan spiritual sebagai potensinya.
Menurut paham idealisme, guru harus membimbing atau mendiskusikan dengan peserta didik bukan prinsip-prinsip eksternal, melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan (bathin) yang perlu dikembangkan, juga harus diwujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Socrates, Plato dan Kant berpendapat bahwa pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri peserta didik. Pendidikan bukan menjejalkan pengetahuan dari luar ke dalam diri seseorang, melainkan memberi kesempatan untuk membangun atau mengkontruksi pengetahuan dan pengalaman dalam diri seseorang. Bangunlah atau ciptakanlah kesempatan atau kondisi agar seseorang dapat membangun pengetahuan dan pengalamannya sendiri.
Jadi dari simpulan diatas menurut dapat kita bagi dalam Filsafat Pendidikan Idealisme dibidang :

a.    Realitas
   Filsafat pendidikan idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Permenides seorang filosof dari Elea (Yunani purba), berkata”apa yang tidak dapat difikirkan adalah tidak nyata.”
Plato, seorang filosof idealisme klasik (Yunani Purba), menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya. Yakni apa yang disebut Mind. Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak berarti apa-apa.
b.    Pengetahuan
          Tentang tori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti ataupun tidak lengkap, karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya (bayangan), yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya, pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spiritual murni dari benda-benda diluar penjelmaan material.
          Hegel menguraikan konsep Plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis, maka pengetahuan manusia tentang realitas adalah benar dalam arti sistematis. Dalam teori pengetahuan dan kebenaran, idealisme merujuk pada rasionalisme.
          Dalam hal ini Henderson mengemukakan bahwa rasionalisme mendasari teori pengetahuan idealisme, mengemukakan bahwa indera kita hanya memberikan materi mentah bagi pengetahuan, pengetahuan tidak ditemukan dari pengalaman indera, melainkan dari konsepsi, dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktivitas jiwa.
c.    Nilai
          Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi kegenerasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia melainkan merupakan bagian dari alam semesta.
          Menurut Kant, kita harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Imperative kategoris dari Kant menyatakan bahwa kita selalu bertindak seakan-akan tindakan individual kita menjadi bagian universal dari alam ini, mengikat seluruh manusia dalam keadaan yang sama.
          Jadi pandanglah manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata. Setiap manusia memandang dirinya sebagai tujuan, sebagai nilai yang datang dan berada dalam dirinya sendiri.  manusia memiliki nilai dan harkat martabat kemanusiaan yang tidak terbatas sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

d.   Pendidikan
Menurut Horne, pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dari perkembangan mental maupun fisik, bebas dan sadar terhadap Tuhan, dimanifestasikan dalam lingkungan intelektual, emosional dan kemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu pribadi manusia ideal.
Mengenai teori pengetahuan, intelek atau akal memegang peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses belajar mengajar. Mereka yakin bahwa akal manusia dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati.
Jadi, pengetahuan yang diajarkan disekolah harus bersifat intelektual. Filsafat, logika bahasa, dan matematika akan memperoleh porsi yang besar dalam kurikulum sekolah. Inilah konsep pendidikan yang berdasarkan pandangan idealisme.
            Filsafat pendidikan idealisme menurut Power pada tahun 1982 yaitu:
·      Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal maupun nonformal bertujuan untu membentuk karakter seseorang dan mengembangkan bakat ataupun kemampuan dasar serta kebaikan dalam sosial.

·      Kedudukan siswa
Maksudnya siswa bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.

·      Peranan Guru
Guru berperan dengan cara bekerjasama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa.

·      Kurikulum
Pendidikan liberal (bersifat bebas) untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.

·      Metode
Diutamakan metode dalam dialektika(penalaran dengan dialog sebagai cara mengungkapkan atau menyelidiki suatu masalah), tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.

2.3. Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu materialisme mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika materialisme. Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran (roh, kesadaran, dan jiwa) hanyalah materi yang sedang bergerak.
Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki karakteristik – karakteristik pikiran dan tidak ada entitas – entitas non material. Aliran ini adalah suatu aliran filsafat yang berisikan tentang ajaran kebendaan, dimana benda merupakan segalanya, sedangkan dikatakan materialistis berarti mementingkan kebendaan menurut materialistis. Aliran ini, berfikir dengan sederhana, mereka berfikir realitas sebagaimana adanya, kenyataannya aliran ini memberikan suatu pertanyaanya bahwa segala sesuatu yang ada di semua alam ini dapat dilihat atau dapat diobservasi, baik wujudnya maupun gerakan-gerakan peristiwa-peristiwanya. Maka berdasarkan persepsi itu, menurut Jalaluddin dan Idi maka realita semesta ini pastilah sebagaimana apa yang kita lihat yang nampak dihadapan kita. Yaitu sebagaimana dikemukakan Noor Syam, semuanya adalah materi, serba zat, serba benda, manusia merupakan makhluk ilmiah yang tidak punya perbedaan dengan alam semesta demikian juga wujudnya yang merupakan makrokosmos, dan tingkah laku manusia pada prosesnya sejalan dengan sifat dan gerakan peristiwa alamiah, yang terkait dengan benda dan menjadi bagian dari hukum alam, karenanya gerakannya ialah suatu bagian daripada hukum alam semesta dan merupakan suatu pola mekanisme atau perjalanan menurut aturan  yang mengikat dan terkait. Karena pada kenyataannya, manusia tunduk dan terlibat dalam peristiwa hukum alam karena adanya hukum sebab akibat (kausalitas), hukum yang objektif, dimana manusia bergerak oleh karena menerima akibat sesuatu, olehnya reaksi yang ditimbulkan manusia, adanya benda yang menimbulkan Stimulus response.
Pada fokusnya aliran materialisme sebagaimana ditegaskan oleh Jalaluddin dan Idi.2002. Mengutamakan benda dan segala berawal dari benda yang demikian juga yang nyata hanya dari dunia materi. Segala kenyataan yang ada itu berdasarkan zat atau unsur dari dan jiwa, roh, sukma, idealisme, oleh aliran materialisme dianggap pula sejenis materi, tetapi mempunyai sifat yang berbeda dibanding dengan sifat materi karena jiwa, roh, sukma itu mempunyai naluri yang bergerak dengan sendiri, sedangkan yang mempunyai gerakan yang terbatas sehingga tidak bebas dan kaku.
Karl Marx memberikan suatu pandangan bahwa kenyataan yang ada adalah dunia materi dan didalam suatu susunan kehidupan yaitu masyarakat, pada muatannya terdapat berupa kesadaran-kesadaran yang menumbuhkan ide serta teori dan pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran yang nyata, sebabnya faktor yang mempunyai peranan untuk melahirkannya, yaitu dengan adanya pendorong atau daya yang dikatakan benda atau materi, pada prinsipnya  kecenderungan manusia untuk berbuat dan bertindak yang disebabkan oleh faktor materi yang ada disekitarnya. Dalam hal ini apa yang dibicarakan oleh masyarakat mengenai rapat ekonomi apabila dihubungkan dengan filsafat manusia ditentukan oleh ekonomi, benda ataupun materi, demikian juga apa yang diciptakan oleh manusia yang berhubungan dengan seni budaya, agama. Manusia yang ada didalam suatu kehidupan berbentuk dan mengalami perubahan dari sederhana meningkat menjadi modern karena adanya pergolakan manusia dengan materi sehingga manusia selalu berusaha memacu diri agar mendapatkan materi-materi yang pada akhirnya terjadi perubahan kehidupan yang diwarnai dengan kebudayaan materi.
Pada bagian lain, bila materi dihubungkan dengan sejarah bersama dengan alamnya, yang digambarkan oleh kehidupan masyarakat, yang berhubungan antara suatu individu dengan individu yang lainnya maka akan melahirkan kebutuhan, serta akan memberikan gaya hidup yang disebabkan oleh materi dan kecenderungan untuk memilikinya. Demikian dengan halnya Thomas Hobbes yang disebut dengan Materialsmus monistis, yaitu mengagung-agungkan materi atau kebendaan materi atau kebendaan (Suryadipura.1994). pada kenyataannya isi pemikiran hobbes banyak diilhami oleh proses alami, karena filsafatnya banyak dihubungkan dengan kejadian-kejadian dalam proses interaksinya dengan manusia.
Filusuf Julian Offray bagi Lemettrie dalam filsafatnya ia mempunyai jalan tersendiri, bahwa alam dan manusia merupakan mesin, tetapi manusia disebut dengan mesin otomatis karena ia mempunyai gerakan didorong oleh materi, dan dia memberikan suatu alasan yang masuk akal bahwa jiwa tanpa adanya badan tidak mungkin ada, sedangkan badan tanpa adanya jiwa masih dapat bergerak dan bertindak. Demikian juga pendapat Herbert Spencer (1820-1903), dimana manusia merupakan bagian dimensi alam, hidup dan berkembang, sedangkan materi itu berkembang menurut hukum-hukum tertentu yang mengakibatkan adanya bentuk baru.
Karakteristik umum materialisme menurut (Sadulloh.2003) berdasarkan suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut adalah:
a.    Semua sains seperti biologi, kimia, psikolog, fisika, sosiolog, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat). Jadi semua sains merupakan cabang dari sains mekanika.
b.    Apa yang dikatakan jiwa dan segala kegiatannya (berfikir dan memahami) adalah suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat saraf atau organ jasmani lainnya.
c.    Apa yang dimaksud dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan serta kebebasan hanyalah sekedar nama ataupun semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi semua fenomena, baik itu fenomena sosial maupun psikologis merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik. Hubungan-hubungan nya dapat berubah secara kausal.
          Pendidikan dalam hal ini proses belajar mengajar yang merupakan kondisionisasi lingkungan, yakni perilaku akan dapat muncul pada diri peserta didik melalui pembiasaan seperti pada percobaan Pavlov akan seekor anjing dengan makanan dan air liur yang disertai dengan bunyi bel atau lonceng. Setiap menyajikan makanan kepada anjing selalu disertai dengan bunyi bell yang dilakukan beberapa kali, dan pada suatu ketika sesuai dengan waktu penyajian makanan yyang dilakukan sebelumnya, bell dibunyikan tanpa adanya makanan air liur anjing keluar. Hal ini merupakan pembiasaan perilaku anjing yakni mengeluarkan air liurnya keluar hanya dengan bell tanpa disertai makanan. Yang dimaksud dengan perilaku ini adalah hal-hal yang berubah, dapat diamati dan dapat diukur, yang berarti mengandung makna bahwa dalam proses pendidikan (proses pembelajaran) penting adanya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar. Disamping itu, dalam pendidikan sangat diperlukan adanya penguatan yang akan meningkatkan hubungan antara stimulus dan respon, aksi dan reaksi.
          Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialisme, sebagai berikut:
1.    Tema
Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.    Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3.    Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal) dan di organisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.    Metode
Semua pelajaran yang dihasilkan dengan kondisionisasi, pelajaran berprogram dan kompetensi dan sebagainya.
5.    Kedudukan siswa
Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup dan mereka dituntut untuk belajar.
6.    Peranan guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.

2.4. Filsafat Pendidikan Realisme
            Real berarti yang aktual atau yang ada, kata tersebut menunjuk kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran. Reality adalah keadaan atau sifat benda yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti umum, realism berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi bukan kepada yang diharapka atau yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis.
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Bagi kelompok realis, alam itu, dan satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik dengannya. Kelompok realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk menafsirkannya menurut keinginan atau kepercayaan yang belum dicoba kebenarannya.
Seorang realis bangsa Inggris, John Macmurray mengatakan:
“Kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda dan ide. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang sesuatu benda, suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda”. Dalam hal ini benda adalah realitas dan ide adalah 'bagaimana benda itu nampak pada kita'. Oleh karena itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan benda-benda, jika mau menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita menjadi benar, jika ide kita tersebut cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan tidak berfaedah.
Benda tidak menyesuaikan dengan ide kita tentang benda tersebut. Kita harus mengganti ide-ide kita dan terus selalu menggantinya sampai kita mendapatkan ide yang benar. Cara berpikir common sense semacam itu aalah cara yang realis; cara tersebut adalah realis karena ia menjadikan 'benda' adalah bukan 'ide' sebagai ukuran kebenaran, pusat arti. Realisme menjadikan benda itu dari real dan ide itu penampakkan benda yang benar atau yang keliru.
Dalam membicarakan dasar psikologi dari sikap yang selain realisme, Macmurray mengatakan bahwa oleh karena filsafat itu sangat mementingkan ide, maka ia condong menekankan alam ide atau pikiran. Oleh karena filsafat condong menjadi penting baginya, maka ia secara wajar, tetapi salah, mengira bahwa ide itu mempunyai realitas yang tidak terdapat dalam benda. Jika ia menganggap kehidupan akal atau pemikiran reflektif sebagai suatu hal yang lebih tinggi dan lebih mulia daripad akktivitas praktis atau perhatian kita terhadap benda, kita mungkin secara keliru mengira bahwa ide itu lebih penting daripada bendanya. Jika kita mengungkung diri kita dalam pikiran, maka pikiran akan tampak sebagai satu-satunya hal yang berarti. Menurut Macmurray, pandangan realis adalah pandangan common sense dan satu-satunya pandangan yang dapat bertahan di tengah-tengah akktivitas-aktivitas kehidupan yang praktis.
Seorang filosof realis lainnya, yaitu Alfred North Whitehead, menjelaskan alasannya mengapa ia percaya bahwa benda yang kita alami harus dibedakan dengan jelas dari pengetahuan kita tentang benda tersebut. Dalam mempertahankan sikap obyektif dari realisme yang didasarkan atas kebutuhan sains dan pengalaman yang kongkrit dari manusia. Whitehead menyampaikan tiga pernyataan. Pertama, kita ini berada dalam alam warna, suara, dan lain obyek indrawi. Alam bukannya dalam diri kita dan tidak bersandar kepada indra kita. Kedua, pengetahuan tentang sejarah mengungkapkan kepada kita keadaan pada masa lampau ketika belum ada makhluk hidup di atas bumi dan di bumi terjadi perubahan-perubahan dan kejadian yang penting. Ketiga, aktivitas seseorang tampaknya menuju lebih jauh dari jiwa manusia dan mencari serta mendapatkan batas terakhir dalam dunia yang kita ketahui. Benda-benda mendapatkan jalan bagi kesadaran kita. "Dunia pemikiran yang umum" memerlukan dan mengandung "dunia indra yang umum".
Realisme dalam berbagai bentuk menurut Kattsoff yang menarik garis pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung kearah dualisme atau monisme materialistik. Seorang pengikut matearialisme mengatakan bahwa jiwa dan materi sepenuhnya sama. Jika demikian halnya, sudah tentu dapat juga sama-sama dikatakan “jiwa adalah materi” seperti halnya mengatakan bahwa materi adalah jiwa. Tetapi apakah orang berusaha melacak roh sampai kepada materi ataukah materi sampai roh, tergantung pada apa yang dianggap utama. Jika yang mengatakan jiwa adalah materi dan karena materi tidak mungkin mengandung maksud, dilain pihak jika materi adalah jiwa itu artinya alam semesta dapat di mengerti sebagai sesuatu yang mengandung maksud atau dapat dikatakan teleologis.
Sistem kefilsafatan realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang adanya terdapat didalam dan tentang dirinya sendiri, dan yang hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Kebanyakan orang akan tegas-tegas mengadakan pemilahan yang tajam antara tindakan akal yang menyadari suatu objek dengan objeknya itu sendiri. Defenisi kebenaran menurut penganut realisme adalah ukuran kebenaran suatu gagasan mengenai barang-barang sesuatu ialah menentukan apakah gagasan-gagasan itu benar-benar memberikan pengetahuan kepada kita mengenai barang sesuatu itu sendiri ataukah tidak dengan mengadakan pembedaan antara apakah sesuatu itu yang kenyataannya dengan bagaimana tampak barang sesuatu itu. Kita akan mengetahui apakah barang itu baik secara langsung maupun dengan jalan menyimpulkannya dari yang nampak.
Salah seorang tokoh atau penganut realisme yang sangat terkenal adalah Johan Amos Comenius merupakan seorang yang pemikir pendidikan. Beliau mengemukakan bahwa manusia selalu berusaha mencapai tujuan hidup berupa:
a.    Keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi.
Tujuan yang menyatu dalam hidup yang merupakan kualitas hidup itu sendiri yang menuju kesempurnaan.
b.    Kehidupan dunia yang sejahtera dan damai.
Tujuannya untuk hidup yang lebih sejahtera dan damai yang akan menuntun ke kehidupan keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi.
Comenius dengan bukunya “Didactica Magna” (Didaktik Besar) dan “Orbis Sensualtum Pictus” (Dunia Pancaindera dengan gambar-gambar) merupakan peletak dasar di daktik modern. Beliau mengemukakan metode berfikir yang diawali dengan fakta-fakta yang merupakan metode berfikir ilmiah, yaitu metode induktif. Oleh karena itu dalam pembelajaran sangat ditekankan dengan penggunaan metode peragaan atau metode peragaan merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar, sehingga beliau dijului sebagai Bapak Keperagaan dalam Belajar Mengajar.



Beberapa prinsip belajar yang dikemukakan oleh Comenius (Sadulloh.2003) adalah:
a.    Pelajaran harus didasarkan pada minat peserta didik. Keberhasilan dalam belajar tidakkarena paksaan dari luar, melainkan merupakan suatu hasil perkembangan pribadinya.
b.    Setiap mata pelajaran harus memiliki out-line, garis besar proses belajar mengajar, silabus dan rencana pembelajaran, dan sudah ada pada awal pembelajaran.
c.    Pada pertemuan awal atau permulaan pembelajaran, guru harus menyampaikan informasi tentang garis-garis besar pembelajaran yang akan dipelajari peserta didik.
d.   Kelas harus diperkaya dengan gambar-gambar, peta, affirmasi, foto, hasil karya peserta didik dan sejenisnya yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang dilaksanakan.
e.    Pembelajaran harus berlangsung secara sikuens atau berkesinambungan dengan pelajaran sebelumnya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan mengikuti perkembangan pengetahuan secara terus menerus.
f.     Setiap aktivitas yang dilakukan guru bersama dengan peserta didik hendaknya saling membantu untuk pengembangan hakikat manusia, dan kepada peserta didik ditujukan kepentingan yang praktis dari setiap sistem nilai.
g.    Pelajaran dalam subyek yang sama diperuntukkan bagi semua peserta didik.
Semua aliran filsafat pendidikan menyetujui bahwa:
·      Proses pendidikan berpusat pada tugas mengembangkan laki-laki dan wanita yang hebat dan kuat.
·      Tugas manusia didunia adalah memajukan keadilan dan kesejahteraan umum.
·      Kita seharusnya memandang bahwa tujuan akhir pendidikan adalah memecahkan masalah-masalah pendidikan.
            Power (1982) mengemukakan implikasi pendidikan realisme sebagai berikut:
ü Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam realisme yaitu sebagai penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial.
ü Kedudukan siswa
Dalam hal pelajaran, menguasai pengetahuan yang handal dan dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.

ü Peranan guru
Guru berperan dalam menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi dari siswa.
ü Kurikulum
Kurikulum komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna. Berisikan pengetahuan liberal dan pengetahuan praktis.
ü Metode
Belajar bergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung. Metode penyampaian harus logis dan psikologis.























BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Idealisme merupakan salah satu aliran filsafat yang menyatakan bahwa kenyataan tersusun atas gagasan-gagasan maupun ide ataupun spirit. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam susunan keseluruhan. Dan ide ini bertujuan untuk mencari kenyataan tertinggi atau kenyataan terakhir, yang disebut sebagai kenyataan yang abadi.
          Materialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang berisikan tentang ajaran kebendaan, dimana benda merupakan segalanya, sedangkan dikatakan materialistis berarti mementingkan kebendaan menurut materialistis.
          Realisme merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa realisme berarti anggapan bahwa obyek indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Realisme dalam berbagai bentuk menurut Kattsoff yang menarik garis pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung kearah dualisme atau monisme materialistik.

















DAFTAR PUSTAKA

Purba,Edward.2013.Filsafat Pendidikan.Medan:FMIPA UNIMED
Usiono.2006.Pengantar Filsafat Pendidikan.Medan:Hijri Pustaka Utama
http://www.google.filsafatpendidikan-idealisme-materialisme-realisme.co.id










              


Tidak ada komentar:

Posting Komentar